Skip to main content

Mengejar Ketinggalan Desain Produk Lokal


"Tidak ada sesuatu yang baru," ujar salah seorang pembeli asing asal Belgia yang mengaku punya trading house besar khusus mebel di negaranya. 

Pria bule itu mengatakan hampir tidak pernah belanja produk mebel dari Indonesia, karena desainnya setiap tahun hampir sama, tidak ada sesuatu yang baru.

Ia terus terang mengaku lebih memilih membeli dari negara tetangga Indonesia seperti Thailand dan Malaysia, karena produsen di negara tersebut mampu menghadirkan model dan desain terbaru yang bagus dan menarik.
"Mungkin kami kurang informasi tentang negeri Anda atau nampaknya negara Anda perlu membangun citra dan promosi mengenai kemampuan negeri ini lebih besar lagi," katanya.


Entah siapa yang benar dan salah. Namun pandangan orang lain mengenai diri `kita`, meskipun tidak semuanya benar setidaknya layak untuk dijadikan bahan introspeksi.
Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu sendiri mengakui pekerjaan kreatif di Indonesia masih minim dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN seperti Thailand dan Singapura.


Ia mencontohkan pekerjaan kreatif di Singapura misalnya mampu memberi kontribusi lima persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri berlambang Singa itu.


Bahkan Singapura, menargetkan pada 2012 pekerjaan kreatif bisa memberi kontribusi sebesar tujuh persen dari PDB mereka.


"Desain sendiri adalah bagian dari pekerjaan kreatif yang harus kita kembangkan agar memberi nilai ekonomi yang besar bagi Indonesia," katanya dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu.


Pentingnya desain 
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Teknologi dan Kelautan Rachmat Gobel mengungkapkan kegelisahannya akan masih minimnya kegiatan desain di Indonesia khususnya untuk produk industri kecil dan menengah (IKM).


"Indonesia saat ini dibanjiri berbagai produk luar negeri yang harganya lebih murah dan umumnya tampil dengan desain dan rupa yang lebih menarik, sehingga memiliki daya jual yang lebih tinggi walaupun seringkali kualitasnya tidak lebih baik dari buatan Indonesia," katanya.


Sebagai pengusaha nasional yang bekerjasama dengan produsen elektronik Jepang, seperti Matsushita, Rachmat sebenarnya menyadari betul kekuatan desain sangat besar dalam menentukan daya saing suatu produk di pasar, tidak hanya di dalam negeri tapi juga pasar internasional.


Menurut dia, pekerjaan desain belum dilihat para pengusaha di Indonesia terutama yang masih berskala kecil dan menengah (UKM) sebagai salah satu kegiatan yang penting untuk meningkatkan penetrasi pasar produk mereka.
Bahkan ada kecenderungan, mereka justru mengekor apa yang sedang tren, tanpa berupaya mengembangkan inovasi di tengah sesuatu yang tren itu.
Akibatnya, produk IKM Indonesia tidak hanya tidak dilirik para pembeli asing, tapi juga tidak begitu diminati di negeri sendiri. "Inovasi dan kreativitas, serta jaringan kerja sama dan teknologi memang masih kurang mendapat perhatian, dikembangkan dan dimanfaatkan industri kita," ujar Menperin Fahmi Idris.
Karena itu, ia tidak heran bila kemudian daya saing produk industri di Indonesia semakin menurun, sementara negara pesaing Indonesia semakin memperkuat tiga faktor tersebut yaitu inovasi, kreativitas, jaringan kerja sama, serta teknologi.


Padahal, katanya, survei Bank Dunia di 150 negara baru-baru ini menyimpulkan penentu keunggulan suatu bangsa adalah inovasi dan kreatifitas (45 persen), jaringan kerja sama (25 persen), teknologi (20 persen), dan sumber daya alam/SDA (10 persen). "Selama ini kita hanya mengandalkan kekayaan SDA, besarnya pasar dalam negeri dan tenaga kerja yang relatif murah," katanya mengakui.


Oleh karena itu, ia mengatakan pengembangan desain adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan menjadi bagian dari strategi industri nasional untuk memenangkan persaingan.


Kekuatan desain 
Mendag Mari Elka Pangestu mengatakan kendati relatif tertinggal dibandingkan negara tetangga dalam mengembangkan pekerjaan kreatif, Indonesia tidak perlu malu belajar dari negara lain yang telah mengembangkan konsep ekonomi kreatif atau 
creative economy.


Ia merujuk pada konsep creative economy yang dikembangkan Thailand yang daya tumbuh ekonominya mengandalkan keativitas dan inovasi sehingga memiliki nilai tambah dan daya jual yang semakin tinggi.
"Kita sendiri memiliki pekerjaan kreatif yang tingkat pengembangannya berbeda-beda seperti seni pertunjukan, arsitektur, perangkat lunak, televisi dan radio, seni rupa dan lain-lain," katanya.
Namun, pekerjaan kreatif dalam arti membuat desain kurang menyentuh sektor industri manufaktur terutama yang digeluti UKM.
Karena itu, ia menjadikan produk kerajinan sebagai proyek percontohan untuk menggenjot desain agar produk kerajinan Indonesia bisa mendunia.
Baik Mari, Rachmat, maupun Fahmi Idris, mengakui Indonesia memiliki kekayaan budaya nusantara yang bisa menjadi inspirasi dan basis keunikan desain Indonesia untuk memenuhi selera masyarakat dunia yang beragam.
Namun Rachmat mengingatkan, "Upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing produk Indonesia lewat desain membutuhkan dukungan dan komitmen yang kuat, khususnya dari pemerintah, DPR, dan dunia sendiri."
Ia juga mengharapkan peran para pekerja kreatif untuk membantu berkembangnya desain Indonesia, baik untuk merek, kemasan, maupun desain produk.


"Saat ini dalam tahap awal ada sekitar 100 perancang yang terlibat dalamworkshop yang terbagi dalam kegiatan pengembangan desain merek, kemasan, dan produk," katanya.
Rachmat berharap dari kegiatan itu, akan muncul desain terbaik yang siap dipamerkan dalam berbagai promosi produk Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.
Pemerintah sendiri menjamin akan menegakkan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk melindungi dan mengembangkan gairah pekerjaan kreatif tersebut.


Roadmap
Keseriusan pemerintah untuk menjadikan desain sebagai kekuatan daya saing nasional nampaknya cukup serius.

Tidak hanya Kadin yang mengambil inisiatif langsung membuat workshop, pemerintah cq Departemen Perdagangan (Depdag) juga menunjukkan keseriusannya membuat roadmap atau peta jalan guna tercapainya tujuan tersebut.
Mendag Mari E Pangestu dalam pemaparannya mengatakan dalam peta jalan jangka menengah (2006-2010) pihaknya menargetkan pada 2010 ada 200 desain produk buatan (made in) Indonesia yang bisa mendunia.
Untuk itu sejak tahun ini sampai 2010, pihaknya akan terus meningkatkan kegiatan lomba desain, pameran desain terbaru baik di dalam negeri sampai ke sudut-sudut mal maupun luar negeri.
Bahkan Mari akan mengajak para perancang kerajinan yang sudah mendunia seperti Marimekko, Philippe Stark, dan Karim Rashid, untuk menjadi instruktur dalam proses pembuatan karya atau produk Indonesia agar bisa diterima di pasar dunia.
Pusat Desain Nasional yang berada di bawah Deperin sendiri diharapkan lebih berperan dalam menjadikan desain sebagai sebuah kebutuhan dan keharusan bagi industri khususnya IKM dalam kegiatan bisnis mereka.
Kerja sama dan komitmen yang kuat dan berkesinambungan dari berbagai pihak akan sangat menentukan keberhasilan membangun kekuatan desain buatan Indonesia agar mendunia dan berjaya di negeri sendiri.
(ant/ind )

Comments

Popular posts from this blog

Hangar Provides A Playful Alternative To Store Clothes In The Closet With Style

Wait, don’t anticipate already the toy aircrafts that the kids are playing with can be found at the children section in Wal-Mart. In fact, even though they really look like one , but these are not just toy planes at all, however, the fun is surely an added bonus that your kids can enjoy. This cloth hanger is the outcome of the playful thought of Chetan Sorab, which can store clothes in the closet in a range of alternatives, most specially, with fun. Inspired from the shape of early World War aircrafts, the hanger has been designed with a funful appearance including an ergonomic handle that enables user to hook on other hangers, making a fleet of them carrying easier than ever. The variety of color will definitely give you the chance of being YOU and show others your taste of elegance. Designer : Chetan Sorab

Kanzen:Benih Motor Nasional

Adalah suatu ironi yang menyedihkan jika bangsa Indonesia yang mampu membuat pesawat terbang nasional tidak mampu membuat sebuah motor nasional sendiri. Selama puluhan tahun, industri dan pasar otomotif Indonesia dikuasai oleh vendor-vendor dari Jepang, tetapi hal itu tidak membuat bangsa Indonesia mampu mengembangkan teknologi otomotif secara mandiri malah semakin membuat bangsa ini semakin tergantung oleh teknologi dari Jepang. Memang transfer teknologi, sumber daya manusia kita memiliki kemampuan memproduksi komponen-komponen otomotif di dalam negeri sendiri, sayangnya hal itu untuk menyuplai kebutuhan komponen otomotif vendor Jepang di dalam negeri maupun di luar negeri. Indonesia tidak diperbolehkan membuat produk-produk otomotif dengan merek atau brand sendiri dengan menggunakan teknologi dari Jepang. Ini membuat tenaga-tenaga ahli otomotif kita hanya sebagai “buruh” bagi para vendor Jepang, bukan sebagai “majikan” di negerinya sendiri. Di samping itu, pemerintah tidak membuat

DASAR DESAIN PRODUK - STUDI HANDGRIP- UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA