Ke depan, perlu dirumuskan penjabaran tentang bagaimana menilai unsur kebaruan suatu desain industri.
Menurut OK. Saidin, desain industri adalah bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual. Perlindungan atas desain industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya desain industri tidak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Jadi ia merupakan produk intelektual manusia, produk peradaban manusia (Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Rajawali Pers. hlm. 467).
Lebih lanjut Saidin mengatakan ada kesamaan antara hak cipta bidang seni lukis (seni grafika) dengan desain industri. Perbedaannya akan lebih terlihat ketika desain industri idalam wujudnya lebih mendekati paten (ibid.). Pandangan bahwa desain industri memiliki aspek hak cipta dan paten juga diamini Insan Budi Maulana. Maulana mengatakan bahwa dalam menyusun sistem desain industri terdapat dua pendekatan, yaitu: pendekatan paten dan pendekatan hak cipta (Bianglala HaKI, Hecca Publishing, hlm 316).
Maulana menguraikan ciri pendekatan tersebut. Pertama, desain industri yang berhak mendapat perlindungan harus memiliki kebaruan. Hak desain industri itu diberikan oleh negara setelah melalui proses pemeriksaan. Sedangkan ciri-ciri desain industri yang memilih pendekatan hak cipta, di antaranya adalah desain industri itu harus memiliki orisinalitas. Kedua, hak desain industri dimiliki atau dipegang oleh pendesain atau pemegang hak desain industri tanpa melalui proses pemeriksaan substantif, atau hanya menerapkan pemeriksaan formalitas saja (Ibid).
Definisi desain industri sendiri menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (“UU Desain Industri”) adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Bagian penjelasan menyebutkan prinsip pengaturannya adalah pengakuan terhadap kepemilikan atas karya intelektual yang memberikan kesan estetis dan dapat diproduksi secara berulang-ulang. Dengan demikian, perlindungan atas desain industri hanya diberikan kepada produk yang memang diproduksi secara massal, bukan produk yang hanya diproduksi satu kali.
Tampaknya UU Desain Industri cenderung memilih pendekatan hak cipta, karena pada prinsipnya yang dilindungi dari sebuah desain industri adalah penampilan bentuk terluar dari suatu produk, atau penampakan visualnya saja. Sementara, aspek teknis, teknologi dan fungsional dari suatu produk dilindungi oleh hukum paten.
Ketentuan mengenai desain industri tercantum dalam Part II, Section 4 TRIPs Agreement, yaitu tentang Standards Concerning the Availability Scope and Use of Intellectual Property Rights, terutama pada Pasal 25 dan Pasal 26 yang intinya mengatur bahwa:
- desain industri yang dapat dilindungi adalah desain industri yang baru atau orisinal;
- hak desain industri yang mencakup “membuat, menjual, atau mengimpor” dan termasuk mencegah pihak lain yang melakukan hal itu tanpa izin pemegang hak, dan
- jangka waktu perlindungan minimal 10 (sepuluh) tahun.
Tampaknya UU Desain Industri mengadopsi bulat-bulat pengaturan dalam TRIPs tersebut, karena menurut Pasal 2 UU Desain Industri, desain industri yang mendapat perlindungan adalah:
- Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.
- Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
- Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum (i) tanggal penerimaan; (ii) tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas; dan (iii) telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) mengatakan yang dimaksud dengan “pengungkapan” adalah pengungkapan melalui media cetak atau elektronik, termasuk juga keikutsertaan dalam suatu pameran. Menurut pengertian Pasal 2 aquo, dapat disimpulkan bahwa suatu desain industri akan dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan desain yang didaftarkan tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian pengungkapan terlebih dahulu oleh pendesain akan menghilangkan unsur kebaruan. Juga bahwa UU Desain Industri tidak menerapkan pendekatan orisinalitas, melainkan lebih menekankan apakah suatu desain industri baru atau tidak.
Dalam UU Desain Industri, pengertian “pengungkapan sebelumnya” tidak terlalu jelas, dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 022 K / N / HaKI/ 2006 tertanggal 24 Oktober 2005, salah satu pihak yang berperkara mencoba menerangkan apa yang dimaksud dengan “pengungkapan sebelumnya” dengan mengutip beberapa buku terbitan luar. Antara lain:
- Buku berjudul Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights: A Concise Guide to the TRIPs Agreement karangan Prof. Michael Blakeney yang menjelaskan perihal disclosure: “the touchstone of novelty, whether it be universal or national, is whether a design has been published or disclosed prior to the date of application. Publication invariably requires a bringing of attention to the public. This may occur in document or by the embodiment of the design in articles which are available to the public through exhibition which or sale”;
- Buku berjudul The Modern Law of Copyright and Designs oleh Laddie dan Prescott, yang menjelaskan arti prior use adalah: “Registered design are frequently invalidated by non-confidential prior use: thus putting an article of display travelers or canvassers or to customers, offering for sale and safe all can constitute prior publication even if only one sample is made available…there is also no requirement that prior use be for commercial purposes”;
- Terakhir dalam buku berjudul Russel Clarke on Industrial Design oleh Martin Howe dikutip katakan bahwa disclosure to a single person is enough for publication.
Pertanyaannya lebih lanjut dalam membaca kata “baru” dalam UU Desain Industri selain mengerti apa itu “pengungkapan sebelumnya” adalah bagaimana menilai sama atau tidaknya suatu desain? Pendekatan apa yang harus diambil?
Karena UU Desain Industri tidak memberikan jawaban bagaimana mengintepretasikan syarat “kebaruan”, maka penafsirannya diserahkan ke dalam praktek peradilan. Selama ini terdapat dua pendekatan yang diambil oleh pengadilan Indonesia, yaitu:
- Sedikit saja perbedaan pada bentuk dan konfigurasi pada dasarnya telah menunjukan adanya kebaharuan (Perkara No. 06/Desain Industri/2006/PN. Niaga. Jkt. Pst tertanggal 26 April 2006; dan Perkara No. 02/Desain Industri/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst);
- Persamaan signifikan (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 022 K / N / HaKI/ 2006 tertanggal 24 Oktober 2005; dan Perkara No. 01 / Desain Industri / 2008 / PN.Niaga. Jkt.Pst.
Ad. 1. Pendekatan sedikit saja perbedaan pada bentuk dan konfigurasi telah menunjukan adanya kebaharuan. Pendekatan ini memiliki dasar hukum pada Pasal 1 angka 5 UU Desain Industri. Berdasarkan pasal ini yang dimaksud dengan hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
Bunyi pasal aquo memberi konsekuensi bahwa tidak seperti desain dalam ranah hak cipta, seorang pendesain dalam ranah hukum desain industri tidak akan serta merta mendapat hak untuk desain industrinya, melainkan harus melalui proses pendaftaran kepada negara, dan kemudian negaralah yang memberikan hak kepada pendesain untuk melaksanakan hak desain industrinya untuk waktu yang terbatas.
Berarti hak desain industri yang mendapat perlindungan adalah desain yang foto atau gambar atau contoh fisiknya dimohonkan dan terdaftar dalam Dirjen HaKI. Apabila kemudian pendesain membuat modifikasi sedikit saja dari desain yang lama, maka desain baru tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan, karena desain tersebut tidak sama dengan desain yang didaftarkan.
Untuk menjamin perlindungan yang optimal, banyak perusahaan besar yang turut mendaftarkan desain industri mereka, walaupun desain tersebut hanyalah modifikasi atau terdiri dari penambahan detail sedikit dari desain industri yang pernah didaftarkan.
Dengan demikian penjelasan UU Desain Industri yang menyatakan bahwa desain industri yang dilindungi adalah untuk produk yang diproduksi secara massal dengan demikian produk yang dibuat berdasarkan pesanan khusus tidak dilindungi menjadi relevan. Karena apabila produk pesanan khusus dilindungi dengan desain industri, maka agar produk tersebut mendapatkan perlindungan desain industrinya, maka setiap kali pendesain membuat produk dengan detail berdasarkan pesanan yang berbeda dari konsumennya, dia harus mendaftarkan produk-produk tersebut, yang merupakan hal yang cukup membuang biaya dan waktu.
Desain-desain satuan seperti itu lebih tepat dilindungi dengan hak cipta yang secara otomatis melindungi pendesain atas ciptaannya produk yang bersangkutan. Dengan demikian, apabila ada sebuah desain yang berbeda, walaupun sedikit saja dengan desain yang telah didaftarkan sebelumnya, maka desain tersebut adalah desain baru karena berbeda.
Ad. 2. Pendekatan persamaan signifikan menolak mengartikan “sama” sebagai “identik”, menurut akademisi maupun praktisi yang menggunakan pendekatan ini, pengertian sama adalah identik sangat sempit. Desain industri terdaftar adalah monopoli yang diberikan berdasarkan hukum. Monopoli ini praktis tidak bernilai dan menjadi tidak ada bila dapat dielakan atau dihindari dengan perubahan kecil pada desain lain untuk membuatnya tidak identik (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 022 K / N / HaKI/ 2006 tertanggal 24 Oktober 2005).
Kata “sama secara signifikan” ini tidak akan pernah ditemui dalam UU Desain Industri, karena kata-kata ini hanya ditemui dalam TRIPs, dan TRIPs sudah diratifikasi oleh Indonesia karena Indonesia adalah anggota WTO.
Dengan demikian, untuk memperbandingkan dua desain, untuk melihat kesamaannya, harus dilihat pada apakah terdapat persamaan secara visual, karena bentuk suatu desain karena fungsinya dapat saja memiliki bentuk yang koheren, namun yang dinilai adalah apakah secara visual dua desain yang koheren tersebut memiliki perbedaan kasat mata. Apabila ada perbedaan yang cukup signifikan pada desain yang belum pernah diungkapkan sebelumnya dibandingkan desain industri terdaftar, maka desain industri yang belum diungkapkan tersebut dianggap memiliki unsur kebaruan.
Seperti telah penulis utarakan sebelumnya UU Desain Industri tidak mencantumkan sama sekali bagaimana menilai kebaruan suatu desain untuk dapat didaftarkan, maka penafsirannya diserahkan kepada praktek.
Sayangnya karena hakim-hakim di Indonesia dalam memutus perkara tidak terikat dengan putusan sebelumnya, maka dimungkinkan ada dua perkara sengketa desain industri dengan dua hasil keputusan yang berbeda, di mana yang satu menggunakan pendekatan pertama, sedangkan yang lain menggunakan pendekatan kedua.
Lucunya, ada seorang ahli hukum Indonesia yang terkenal sebagai akademisi maupun praktisi bidang HaKI yang menggunakan kedua pendekatan pada dua kesempatan berbeda. Di satu sisi ketika menjadi seorang saksi ahli dalam suatu persidangan beliau menekankan pada pendekatan yang pertama, namun ketika beliau menjadi penasehat hukum pada proses persidangan yang lain, beliau menggunakan pendekatan kedua.
Ketidaktegasan undang-undang dalam mengatur metode pendekatan untuk menilai unsur kebaruan telah membuat hukum desain industri kita menjadi penuh ketidakpastian.
Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia, baik itu menambah morat-maritnya hukum, dan dapat menurunkan kualitas perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual seorang pendesain beritikad baik. Belum lagi dengan suasana perekonomian dunia yang sedang dirundung masalah, maka Indonesia membutuhkan lebih banyak penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Seperti sudah diketahui dan dikatakan berulang-ulang, dengan pemberian perlindungan terhadap HaKI yang lebih baik, maka hal ini dapat memotivasi calon investor untuk memindahkan industri mereka ke Indonesia.
Mengingat UU Desain Industri kita tidak mencantumkan mengenai pendekatan “sama secara signifikan”, maka saat ini penulis cenderung setuju bahwa UU Desain Industri kita menggunaka pendekatan pertama, bahwa perbedaan sedikit saja akan menimbulkan unsur kebaruan. Namun pendapat akademisi yang menggunakan pendekatan sama secara signifikan juga harus didengar, bahwa perlindungan terhadap suatu desain tidak boleh sempit, karena apabila seorang pendesain menambah sebuah detil kecil pada desain orang lain dan desain tersebut dianggap baru, tentu ini akan mengurangi esensi serta tujuan adanya UU Desain Industri.
Namun demi kepastian hukum, perlindungan luas tersebut juga tidak boleh berarti seluas-luasnya, tetap harus ada pembatasan tegas bagaimana penilaian unsur kebaruan dan bagaimana membandingkan dua buah desain yang berbeda. Oleh karena itu, penulis mengharapkan revisi dari UU Desain Industri nantinya akan memasukan penjabaran mengenai bagaimana menilai unsur kebaruan dari sebuah desain industri.
----
*) Penulis adalah associate pada salah satu kantor advokat di Jakarta.
(Red)
Sumber www.hukumonline.com
Comments